Masukan Terpopuler

Sabtu, 03 September 2011

SERTIFIKASI DAN GURU PROFESIONAL

oleh : 
FATHONI NUR HIDAYAT
Kenyataan menunjukkan bahwa sertifikasi saja tidaklah cukup sebagai upaya mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru. Meski telah dinyatakan lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi, bukan berarti guru telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan undang-undang.
Pasca pelaksanaan sertifikasi guru yang sudah dilaksakan beberapa tahap menimbulkan kegembiraan dan kegelisahan yang mendalam bagi guru. Kegembiraan jelas terpampang di wajah guru yang dinyatakan lolos sertifikasi lantaran \"iming-iming\" satu kali gaji pokok di depan mata. Kegelisahan dirasakan oleh guru-guru yang belum dinyatakan lolos oleh asesor. Ada yang geram lantaran menurut penilaian guru yang tidak lolos, teman guru yang tidak pernah aktif dalam kegiatan tapi bisa lolos sertifikasi. Ada pula yang menyadari guru yang tidak lolos tersebut karena tidak sungguh-sungguh dalam menyiapkan berkas portofolio.
Sertifikasi guru yang merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu sekaligus kesejahteraan guru sasarannya bisa menjangkau 2,7 juta guru. Namun, hingga saat ini baru sekitar 500.000 guru yang lolos sertifikasi dan mendapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji. Sebuah kajian untuk mengetahui kompetensi guru pascasertifikasi, yang dilakukan Baedhowi dan Hartoyo (tahun 2009), menunjukkan motivasi guru untuk segera ikut kompetensi bukanlah semata-mata untuk mengetahui tingkat kompetensi mereka, tetapi yang lebih menonjol adalah motivasi finansial. Alasan para guru mengikuti sertifikasi, antara lain, agar mendapat tunjangan profesi, segera mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, tunjangan untuk biaya kuliah, biaya pendidikan anak, merenovasi rumah, dan membayar utang.
Kenyataan menunjukkan bahwa sertifikasi saja tidaklah cukup sebagai upaya mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru. Meski telah dinyatakan lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi, bukan berarti guru telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan undang-undang. Hal itu selaras dengan pernyataan berikut ini: Sertifikasi guru yang bertujuan meningkatkan kompetensi sekaligus kesejahteraan guru ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Guru yang telah lolos sertifikasi ternyata tidak menunjukkan peningkatan kompetensi yang signifikan. ”Dari kajian yang dilakukan, ternyata motivasi para guru mengikuti sertifikasi umumnya terkait aspek finansial, yaitu segera mendapat tunjangan profesi,” kata Prof Dr Baedhowi, MSi dalam pidato pengukuhan guru besar Manajemen Sumber Daya Manusia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/11).
Terkait hal ini kami mengelompokkan guru menjadi 3 (tiga) kategori yakni: 1. mereka yang tidak ambil pusing dengan adanya sertifikasi, 2. guru yang sangat mendambakan sertifikasi, dan 3. mereka yang pesimis dan tidak terlalu percaya dengan iming-iming tunjangan profesi. Banyak cerita menarik ketika sertifikasi mulai digulirkan oleh \"negeri\" pendidikan kita. Ada guru yang merasa senang ketika terdata dalam sertifikasi, ada guru yang bingung saat terdata, dan ada juga guru yang masa bodoh terhadap aktivitas tersebut. Bahkan ada guru yang kecewa lantaran namanya tidak termasuk dalam daftar guru yang tersertifikasi.
Ada juga guru yang sakit (bahkan diopname) saat kelelahan mengumpulkan berkas Ada juga guru yang pesimis terhadap proses sertifikasi (paling-paling pemerintah ingkar janji). Sekadar mengingatkan saja, \"uang lauk-pauk\" yang konon tidak seberapa itu, sampai detik ini masih \"digantung\" (bagaimana dengan dana untuk sertifikasi?). Biro jasa sertifikasi pun seperti \"jamur\" di musim penghujan. Hampir di setiap sudut Kecamatan muncul biro jasa. Ada yang menyiapkan berbagai penelitian tindakan kelas \"sulapan\", piagam diklat \"sulapan\", sampai pada kejuaraan \"sulapan\" tempo dulu. Cerita lain dari sudut pandang asesor, pada awal mereka (baca:asesor) bertugas menilai berkas portofolio, belum ada keseragaman persepsi dalam penilaian. Ada asesor yang \"kikrik\" dalam menilai, ada juga asesor yang \"baik hati\" (asal ada cap-nya dinilai), dan ada juga asesor yang \"bertengkar\".
Persoalannya adalah benarkah pemberian sertifikat pendidikan bagi guru dapat meningkatkan kinerja? Mungkinkan pemerintah mampu mengeluarkan anggaran yang \"tidak masuk akal\" itu secara berkelanjutan? Jangan-jangan, program sertifikasi akan bernasib sama dengan program-program inovasi yang tak berbekas sebelumnya? Di tengah-tengah maraknya praktik \"terorisme\" pendidikan, ada baiknya guru memaknai profesi yang digelutinya secara holistik.
Menurut Robert Kiyosaki cara pandang terhadap profesi guru menyebabkan terbentuknya kuadran-kuadran, sebagai berikut: Kuadran I: Guru Pekerja. Guru yang punya pekerjaan dan mengedepankan To Have. Kita disebut guru pekerja, bila kita termasuk guru yang menyukai kemapanan, tidak ada keinginan untuk berubah. Kita senang dengan pekerjaan rutinitas yang menjadi tanggung jawab kita. Perilaku kita tampak oleh mengajar dengan cara yang sama tentang hal yang sama kepada orang yang berbeda. Pada kuadran ini kita memiliki paradigma to have. Kita adalah orang yang berada dalam sistem yang sudah mapan. Sumber penghasilan kita adalah satu-satunya gaji/honor bulanan/mingguan ditambah dari proyek-proyek skala kecil dan rutin.
Kuadran II: Guru Profesional.Guru yang berkuasa atas pekerjaan dan mengedepankan To Have. Kita dikatakan guru profesional, bila kita termasuk guru yang menyukai tantangan dalam mengajar. Senang dengan pekerjaan yang mandiri, tidak rutin tapi memuaskan, senang berpindah tempat kerja dengan pekerjaan yang sama. Perilaku kita tampak oleh mengajar dengan cara yang sama tentang hal yang berbeda kepada orang yang berbeda. Pada kuadran ini kita mulai mengalami pergeseran pradigma tetapi masih pada konsep to have. Kita menjadi sistem bagi diri kita sendiri. Sumber penghasilan kita adalah sebagai profesional yang memiliki nilai (harga) setiap kali kita mengajar.
Kuadran III: Guru Pemilik. Guru yang punya keahlian dan visi kepemimpinan dan manajemen system, serta mengedepankan To Be. Kita dikatakan guru pemilik bila kita adalah guru yang memiliki keahlian (pemilik), tidak hanya terkait dengan pengajaran tetapi juga memiliki kemampuan mengendalikan sistem, sehingga pemilik menjadi bagian dari kelompok pengambil keputusan. Senang dengan peran sebagai investor dan atau pimpinan dengan tujuan mendapatkan penghasilan dari investasi/tugas tersebut. Kita adalah orang yang menjalankan sistem secara strategis, untuk mengendalikan diri dan orang lain bagi kemajuan lembaga. Pada kuadran ini kita mengalami pergeseran paradigma yang sangat jelas dari to have ke to be. Sumber penghasilan kita adalah dari keahlian dan sistem yang kita kendalikan.
Kuadran IV: Guru Perancang. Guru yang membuat dan mengendalikan system sekolah identik dengan dirinya serta mengedepankan To Be. Kita dikatakan guru perancang, bila kita adalah guru yang berfungsi sebagai perancang masa depan pengajaran, bersifat inovatif, senang pada ide dan perubahan yang mengaktifkan pengajaran. Kita adalah orang yang kaya dengan ide/gagasan yang inovatif yang menjadikan kita orang yang sangat berarti. Kita menjadi perancang sistem bagi kemajuan diri dan masa depan orang lain. Pada kuadran ini menunjukan bahwa pergeseran paradigma kita sudah sepenuhnya ke kuadran to be. Sumber penghasilan kita adalah dari sistem dan gagasan yang diterapkan banyak orang. Ide dan gagasan bekerja untuk menghasilkan uang bagi kita.
Pepatah mengatakan: \"kegemilangan masa depan tergantung apa yang diperbuat hari ini\". Secara implisit hal tersebut dapat dikonotasikan bahwa keberhasilan peningkatan mutu pendidikan di masa depan sangat tergantung pada stake holder pendidikan yang meliputi: pendidik, peserta didik, masyarakat, institusi, sarana dan prasarana, pengelolaan dan, dan sebagainya. Memaksimalkan komponen-komponen stake holder dalam pendidikan bukanlah hal yang mudah. Hal ini karena keberadaan-keberadaan komponen tersebut saling melengkapi. Ibarat sebuah sistem komponen-komponen tersebut perlu dikembangkan secara integratif melalui pendekatan sistem. Pendekatan sistem dapat digunakan sebagai suatu pendekatan dalam memecahkan permasalahan yang paling sederhana sampai pada tingkat permasalahan yang paling kompleks, khususnya dalam peningkatan mutu pendidikan. Persoalan-persoalan yang mengemuka dalam dunia pendidikan dan merupakan tantangan pendidik di masa datang harus diselesaikan secara sistemik, analitik, dan sistematik.
Sistemik dalam arti permasalahan pendidikan harus dilihat dari konteks keseluruhan. Analitik dalam pengertian permasalahan dalam dunia pendidikan perlu dianalisis sebab dan akibatnya dikaitkan dengan berbagai masalah yang ada, baik di dalam maupun di luar sistem. Sedangkan sistematik dalam arti cara kerja dalam penyelesaian permasalahan harus beraturan atau runtut. Hal ini dapat dilihat dari proses kegiatannya, yaitu perumusan masalah, penelitian, penilaian, penelaahan, pemeriksaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan.
Permasalahan yang mengemuka dalam dunia pendidikan memang sangat kompleks dan sporadis. Oleh karena itu, di masa datang seorang pendidik harus \"tanggap sasmita\" terhadap arus reformasi dan transformasi pendidikan. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi yang sedemikian cepat sudah barang tentu berdampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia. Kenakalan remaja dan pengaruh narkoba merupakan tantangan utama dalam menumbuhkembangkan peserta didik agar menjadi generasi muda penerus perjuangan bangsa yang tatag tanggon, tinatah mendat, jinoro menter, yakni anak bangsa yang cerdas berbudaya dan memiliki jiwa dan pengabdian yang kuat.
Dalam konteks ini, pendidik diharapkan memaksimalkan perannya sebagai \"guru\" dan menjadi suri teladan bagi peserta didiknya. Guru masa depan perlu memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi). Guru masa depan perlu memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai. Guru masa depan perlu menggunakan \"pendekatan sistem\" sebagai dasar cara berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah, yaitu berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara runtut (tidak meloncat-loncat), berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-lintas disiplin (tidak parsial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya); berpikir \"sebab-akibat\" (ingat ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan); berpikir interdependensi dan integrasi, berpikir eklektif (kuantitatif + kualitatif), dan berpikir sinkretisme.
Guru masa depan perlu memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas (apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal. Guru masa depan perlu memiliki pendidikan yang setingkat di atas standart minimal yang diharapkan pemerintah. Dalam dunia pendidikan dasar, tenaga pengajar setidaknya harus berbasis pendidikan S1, pendidikan menengah tenaga pengajarnya harus berbasis pendidikan S2, dan perguruan tinggi harus berbasis pendidikan S3. Secara sederhana peningkatan kualifikasi akademik itulah, yang harus dikembangkan oleh tenaga pendidik. Guru masa depan perlu mempertegas kembali komitmen sebagai pendidik untuk tidak memaksakan pembelajaran yang hanya bermuatan kognitif saja, namun lebih aplikatif sejalan dengan konsep pembelajaran learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be (Tilaar, 2000).
Paradigma ini mensyaratkan pendidik untuk all round dalam proses belajar-mengajar, sehingga mampu mensinergikan konsep life skill yang nantinya merupakan modal utama peserta didik untuk terjun ke masyakarat. Guru masa depan tidak boleh gaptek (gagap teknologi) sehingga perlu belajar aplikasi teknologi (handpone, televisi, media massa, komputeri, internet, dll). Guru masa depan perlu menjadi peneliti, penilai, dan penulis. Profesi guru adalah proses intelektual yang siklus alaminya mencakupi membaca, mengajar, meneliti, dan menulis secara menerus. Bukan hanya memanfaatkan dan menerapkan hasil penelitian, namun mampu melakukan penelitian, penilaian, dan penulis sesuai dengan bidang tugasnya. Hal ini menjadi penting lantaran penelitian merupakan salah satu bentuk pengembangan profesi. Sudah saatnya pemerintah merumuskan sistem penggajian berbasis kinerja bukan masa kerja sehingga ada perbedaan yang cukup signifikan antara guru-guru yang mengajar secara profesional dan tidak profesional. Termasuk pengkajian dan evaluasi \"proyek sertifikasi\", kalau hanya dijadikan \"pelengkap penderita\".
Menjadi guru yang peduli terhadap pendidikan mensyaratkan totalitas cipta, rasa, dan karsa sehingga mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki secara optimal, baik kompetensi personal, professional, dan kemasyarakatan. Kompetensi tersebut mutlak dikembangkan dalam rangka memperkuat sifat konservatif pada diri guru. Untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional, pascasertifikasi perlu ada upaya sistematis, sinergis, dan berkesinambungan yang menjamin guru tetap profesional.(fathonie.512)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar